PENULIS : MASDUKI
TAHUN TERBIT : JULI 2003 CETAKAN PERTAMA
PENERBIT : JENDELA
KOTA TERBIT :YOGYAKARTA
Radio Siaran dan Gerakan Demokratisasi
Demokratisasi penyiaran : sebuah gagasan
Demokratisasi penyiaran merupakan manifestasi amandemen No.4 UUD 1945, yang meliputi kegiatan berkomunikasi sebagai hak publik(publik good)melalui jalur lintas elektromagnetik yang merupakan bagian dari ranah publik(public domain). Spektrum frekuensi siaran radio dan televisi harus diatur sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat oleh badan negara yang bersifat independen.
Gagasan demokratisasi penyiaran meliputi (1) independensi, (2) pluralitas kepemilikan dan orientasi lembaga serta isi dan (3) desentralisasi atau dekonsentrasi penyiaran dari Jakarta ke daerah.(halaman 2).
Demokratisasi penyiaran di Indonesia
Demokratisasi penyiaran di Indonesia meliputi
1)independensi SDM(SDM dan institusi siaran),
2)pluralitas kepemilikan, pengelolaan dan orientasi isi siaran,
3)desentralisasi dan otonominasi penyiaran.
Demokratisasi penyiaran bertumpu pada dua pilar utama yaitu :
1)demokratisasi sebagai jaminan tidak adanya intervensi pada muatan isi dan perbincangan di media penyiaran dalam bentuk apapun.
2) keterbukaan bagi partisipasi semua pihak secara setara dan independen.(halaman 3)
Faktor-faktor yang menentukan demokratisasi siaran radio
Faktor-faktor yang menentukan demokratisasi siaran radio yaitu :
1)ideologi ekonomi-politik(pilihan visi-misi dan filosofi),
2)pihak eksternal (pengiklan, pemerintah dan masyarakat)
3)manajemen stasiun radio(pemilik dan keputusan rutin),
4)kekuatan kritis-demokratis (akademisi, LSM, ormas dll),
5)Broadcaster(penyiar, reporter, editor)(halaman 6)
Mengurai hubungan antara negara dan radio
Kekuasaan negara merupakan faktor penentu fungsi keberadaan industri penyiaran di masyarakat. Kebebasan suatu negara sangat mempengaruhi kebijakan komunikasi di negara itu sendiri. Artinya kebijakan (regulasi, deregulasi, distribusi, redistribusi)di bidang ini tidak dapat dilepaskan dari nilai budaya dan politik yang mempengaruhi perkembangan sejarah dan politik di negara itu (Wahyuni, 2000).
Hubungan negara dan radio dapat disebut sebagai hubungan organik yang mensahkan terjadinya intervensi/campur tangan negara. Pada masa ORBA terdapat tiga pilar intervensi yaitu 1)kepemilikan radio siaran oleh keluarga Cendana, 2)monoloyalitas organisasi PRSSNI, 3)monopoli siaran berita dan wajib relay siaran RRI. (halaman 14-19).
Radio : Ruang publik yang hilang
Media penyiaran sejatinya adalah ruang publik. Namun pada kenyataannya ruang publik media penyiaraan radio dan televisi semakin menyempit. Gejala ini tampak dari penolakan pemerintah pada bentuk penyiaran alternatif dan memprofitkan RRI dan TVRI yang nota bene keduanya diformat untuk penyiaran publik. Kekhawatiran kebangkrutan media penyiaran sebagai ruang publik memuncak saat terjadi perdebatan dalam perumusan UU Penyiaran pengganti UU No 24 tahun 1997 di DPR tahun 2000-2002. Undang-Undang ini dianggap mengarah pada upaya refeodalisasi dan privatisasi. Oleh karena itu ruang publik harus diperjuangkan dan dipertahankan agar ruang publik tetap memiliki tempat di media penyiaran. (halaman 19-25).
Radio di era transisi politik
Di tahun 1998-2002 radio mengalami masa transisi dari peran sosial normatif sebagai pelayan kebutuhan hiburan menjadi peran sosial aktual sebagai institusi pencerdasan publik. Namun pada perkembangannya radio tetap saja mengikuti logika pasar yang menempatkan pendengar sebagai komoditas. Sehingga yang terjadi radio siaran menjadi institusi yang berorientasi pada bisnis dan jauh dari peran sosial melalui program yang berpihak kepada kepentingan masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena ada dua alasan yaitu pertama, proses transformasi yang reaktif dan tidak alamiah. Kedua kenyataan bahwa mayoritas radio siaran yang dikelola dengan manajemen tradisional, feodalistik dan tergantung pada figur pemilik.(halaman 29-33)
Pergeseran paradigma penyiaran pasca reformasi 1998:
1) Pergeseran oreintasi penyiaran, dari medium artikulasi kepentingan negara ke medium aktualisasi dinamika pasar.
2) Pergeseran substansi kepemilikan, dari private-state-non-profit ke community-public-profit.
3) Pergeseran materi siaran, dari hiburan (musik) ke jurnalistik.
4) Pergeseran kemasan siaran, dari monolog-reaktif ke dialog interaktif.
5) Pergeseran teknologi, dari era analog ke era digital.
(Halaman 141)
RRI sebagai media publik
Pada tahun 2002, khususnya RRI memperkenalkan terminologi baru yaitu penyiaran public(public service broadcasting)yang berlandaskan UU Penyiaran No 32 tahun 2002. Untuk mewujudkan lembaga penyiaran publik nasional RRI harus mengubah image buruknya. Tiga masalah yang mendasar yaitu masalah monopoli(penghapusan kewajiban relay berita RRI), birokratisasi(urusan komunikasi dan kerja sama penyiaran)dan propaganda(menjaga jarak antara RRI dan TVRI dengan referensi keputusan pemerintah. (halaman 35-40).
Regulasi dan desentralisasi : pilihan demokratisasi
Strategi regulasi merupakan gabungan dari dua aliran gerakan demokratisasi penyiaran, yaitu model naturally (diserahkan pada mekanisme pasar) oleh Abraran dan model organized (melalui aturan main) oleh James Curran.(halaman 41)
Pilihan strategi organized melalui regulasi yang disusun bersama negara penyiaran efeknya bersifat generik dan perumusannya rentan dengan KKN. Oleh karena itu pilihan pembuatan Undang yang mengatur iklim penyiaran(UU Penyiaran No 32 Tahun 2002) merupakan pilihan terbaik di antara pilihan yang buruk).(halaman 44)
Di dalam UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 terhadap pemberlakuan prinsip desentralisasi. Yang berarti televisi komersial harus menghentikan bentuk siaran nasional dan harus berkolaborasi dengan televisi lokal. Meskipun UU tersebut telah disahkan, radio TV swasta komersial tetap bersikap menolak dan UU tersebut karena mematikan kebebasan berekspresi dan membatasi industri penyiaran. Oleh kerena itu diperlukan judicil review.(halaman 45-51)
Mencermati Fenomena Radio Mahasiswa
Para akademisi dan praktisi radio menilai kehadiran radio mahasiswa menaruh sejumlah harapan. Pertama, diharapkan akan mengukuhkan frekuensi sebagai ruang publik yang terbuka (open space) dan mencairkan monopoli stasiun radio komersial. Dua, diharapkan akan mempercepat proses pemulihan persepsi buruk radio di masa lalu yang identik dengan alat propaganda politik.(halaman 55)
Agar dapat berkembang menjadi profesional radio mahasiswa perlu menuntaskan sejumlah masalah personal(seperti waktu luang pengelola yang tidak pasti, di luar jam kuliah) dan masalah institusional(seperti visi dan misi yang tidak sinkron dan solid antara pengelola, mahasiswa pendengar, pimpinan kampus; independensi yang lemah berhadapan dengan pimpinan kampus, pengiklan dan UKM tertentu.(halaman 56)
Sejumlah langkah yang perlu ditempuh agar radio mahasiswa dapat bertahan di era kompetisi radio siaran yaitu pertama, merumuskan segmentasi pendengar yang jelas dan terfokus. Strategi ini memiliki banyak manfaat yaitu 1)mengurangi biaya opersional dengan menekan jumlah SDM yang tidak produktif dan program yang tidak tepat. 2)secara psikologis mendekatkan jarak radio-pendengar. 3)target promosi dan pemasaran acara yang lebih terukur. Kedua, sindikasi/networking dengan berbagai jaringan penyedia program informasi dan musik yang tidak berorientasi laba.(halaman 76-77)
Ciri radio yang dikelola mahasiswa:
1)idealisme tercermin dalam setiap program acara siaran wujudnya adalah siaran jurnalisme. 2)sifat radio yang independen dan nonprofit.
3)target siaran ditujukan untuk mahasiswa. (halaman 78-79)
Radio–mahasiswa sebagai radio komunitas
Radio komunitas lahir dari gagasan Paulo Freire tentang pendidikan kaum tertindas melalui medi yang murah dan populer. Radio komunitas mencoba melayani kebutuhan informasi dan perjuangan masyarakat kelas pinggiran, baik ekonomi, budaya, politik dengan cara menajdi mediator komunikasi kegiatan komunitas.(halaman 87)
Secara teoritis komunitas terbentuk oleh dua hal yaitu,1)kesamaan lokasi atau status sosial individu. 2)kesadaran kolektif untuk mencapai tujuan tertentu.(halaman 90)
Istilah radio komunitas/community radio merujuk pada kepemilikan dan wilayah orientasi yang bersifat lokal, antitesis radio swasta yang luas dan jaringan. (halaman 91 pada tabel 2.5).
Radio Siaran dan Perspektif Gender
Akar masalah bias gender di radio :
1) Lingkungan sosial-budaya yang patriarkal; sadar atau tidak broadcaster sering mengartikulasikan kondisi sosial-budaya itu.
2) Faktor internal radio yang secara kultural, teknologis dan histories diciptakan dalam iklim patriarkal.
Solusi mengatasi bias gender di radio:
3) Affirmative action, kebijakan non-diskriminatif dan memprioritaskan perempuan dalam pengisian posisi stragtegis di radio.
4) Mendorong pluralitas pemilikan dan orientasi pengelolaan institusi dan program siaran.
5) Menghilangkan pola pikir yang bias gender, misal melalui pelatihan.
6) Memperkuat akses kontrol public publik melalui radio wacth
TAHUN TERBIT : JULI 2003 CETAKAN PERTAMA
PENERBIT : JENDELA
KOTA TERBIT :YOGYAKARTA
Radio Siaran dan Gerakan Demokratisasi
Demokratisasi penyiaran : sebuah gagasan
Demokratisasi penyiaran merupakan manifestasi amandemen No.4 UUD 1945, yang meliputi kegiatan berkomunikasi sebagai hak publik(publik good)melalui jalur lintas elektromagnetik yang merupakan bagian dari ranah publik(public domain). Spektrum frekuensi siaran radio dan televisi harus diatur sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat oleh badan negara yang bersifat independen.
Gagasan demokratisasi penyiaran meliputi (1) independensi, (2) pluralitas kepemilikan dan orientasi lembaga serta isi dan (3) desentralisasi atau dekonsentrasi penyiaran dari Jakarta ke daerah.(halaman 2).
Demokratisasi penyiaran di Indonesia
Demokratisasi penyiaran di Indonesia meliputi
1)independensi SDM(SDM dan institusi siaran),
2)pluralitas kepemilikan, pengelolaan dan orientasi isi siaran,
3)desentralisasi dan otonominasi penyiaran.
Demokratisasi penyiaran bertumpu pada dua pilar utama yaitu :
1)demokratisasi sebagai jaminan tidak adanya intervensi pada muatan isi dan perbincangan di media penyiaran dalam bentuk apapun.
2) keterbukaan bagi partisipasi semua pihak secara setara dan independen.(halaman 3)
Faktor-faktor yang menentukan demokratisasi siaran radio
Faktor-faktor yang menentukan demokratisasi siaran radio yaitu :
1)ideologi ekonomi-politik(pilihan visi-misi dan filosofi),
2)pihak eksternal (pengiklan, pemerintah dan masyarakat)
3)manajemen stasiun radio(pemilik dan keputusan rutin),
4)kekuatan kritis-demokratis (akademisi, LSM, ormas dll),
5)Broadcaster(penyiar, reporter, editor)(halaman 6)
Mengurai hubungan antara negara dan radio
Kekuasaan negara merupakan faktor penentu fungsi keberadaan industri penyiaran di masyarakat. Kebebasan suatu negara sangat mempengaruhi kebijakan komunikasi di negara itu sendiri. Artinya kebijakan (regulasi, deregulasi, distribusi, redistribusi)di bidang ini tidak dapat dilepaskan dari nilai budaya dan politik yang mempengaruhi perkembangan sejarah dan politik di negara itu (Wahyuni, 2000).
Hubungan negara dan radio dapat disebut sebagai hubungan organik yang mensahkan terjadinya intervensi/campur tangan negara. Pada masa ORBA terdapat tiga pilar intervensi yaitu 1)kepemilikan radio siaran oleh keluarga Cendana, 2)monoloyalitas organisasi PRSSNI, 3)monopoli siaran berita dan wajib relay siaran RRI. (halaman 14-19).
Radio : Ruang publik yang hilang
Media penyiaran sejatinya adalah ruang publik. Namun pada kenyataannya ruang publik media penyiaraan radio dan televisi semakin menyempit. Gejala ini tampak dari penolakan pemerintah pada bentuk penyiaran alternatif dan memprofitkan RRI dan TVRI yang nota bene keduanya diformat untuk penyiaran publik. Kekhawatiran kebangkrutan media penyiaran sebagai ruang publik memuncak saat terjadi perdebatan dalam perumusan UU Penyiaran pengganti UU No 24 tahun 1997 di DPR tahun 2000-2002. Undang-Undang ini dianggap mengarah pada upaya refeodalisasi dan privatisasi. Oleh karena itu ruang publik harus diperjuangkan dan dipertahankan agar ruang publik tetap memiliki tempat di media penyiaran. (halaman 19-25).
Radio di era transisi politik
Di tahun 1998-2002 radio mengalami masa transisi dari peran sosial normatif sebagai pelayan kebutuhan hiburan menjadi peran sosial aktual sebagai institusi pencerdasan publik. Namun pada perkembangannya radio tetap saja mengikuti logika pasar yang menempatkan pendengar sebagai komoditas. Sehingga yang terjadi radio siaran menjadi institusi yang berorientasi pada bisnis dan jauh dari peran sosial melalui program yang berpihak kepada kepentingan masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena ada dua alasan yaitu pertama, proses transformasi yang reaktif dan tidak alamiah. Kedua kenyataan bahwa mayoritas radio siaran yang dikelola dengan manajemen tradisional, feodalistik dan tergantung pada figur pemilik.(halaman 29-33)
Pergeseran paradigma penyiaran pasca reformasi 1998:
1) Pergeseran oreintasi penyiaran, dari medium artikulasi kepentingan negara ke medium aktualisasi dinamika pasar.
2) Pergeseran substansi kepemilikan, dari private-state-non-profit ke community-public-profit.
3) Pergeseran materi siaran, dari hiburan (musik) ke jurnalistik.
4) Pergeseran kemasan siaran, dari monolog-reaktif ke dialog interaktif.
5) Pergeseran teknologi, dari era analog ke era digital.
(Halaman 141)
RRI sebagai media publik
Pada tahun 2002, khususnya RRI memperkenalkan terminologi baru yaitu penyiaran public(public service broadcasting)yang berlandaskan UU Penyiaran No 32 tahun 2002. Untuk mewujudkan lembaga penyiaran publik nasional RRI harus mengubah image buruknya. Tiga masalah yang mendasar yaitu masalah monopoli(penghapusan kewajiban relay berita RRI), birokratisasi(urusan komunikasi dan kerja sama penyiaran)dan propaganda(menjaga jarak antara RRI dan TVRI dengan referensi keputusan pemerintah. (halaman 35-40).
Regulasi dan desentralisasi : pilihan demokratisasi
Strategi regulasi merupakan gabungan dari dua aliran gerakan demokratisasi penyiaran, yaitu model naturally (diserahkan pada mekanisme pasar) oleh Abraran dan model organized (melalui aturan main) oleh James Curran.(halaman 41)
Pilihan strategi organized melalui regulasi yang disusun bersama negara penyiaran efeknya bersifat generik dan perumusannya rentan dengan KKN. Oleh karena itu pilihan pembuatan Undang yang mengatur iklim penyiaran(UU Penyiaran No 32 Tahun 2002) merupakan pilihan terbaik di antara pilihan yang buruk).(halaman 44)
Di dalam UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 terhadap pemberlakuan prinsip desentralisasi. Yang berarti televisi komersial harus menghentikan bentuk siaran nasional dan harus berkolaborasi dengan televisi lokal. Meskipun UU tersebut telah disahkan, radio TV swasta komersial tetap bersikap menolak dan UU tersebut karena mematikan kebebasan berekspresi dan membatasi industri penyiaran. Oleh kerena itu diperlukan judicil review.(halaman 45-51)
Mencermati Fenomena Radio Mahasiswa
Para akademisi dan praktisi radio menilai kehadiran radio mahasiswa menaruh sejumlah harapan. Pertama, diharapkan akan mengukuhkan frekuensi sebagai ruang publik yang terbuka (open space) dan mencairkan monopoli stasiun radio komersial. Dua, diharapkan akan mempercepat proses pemulihan persepsi buruk radio di masa lalu yang identik dengan alat propaganda politik.(halaman 55)
Agar dapat berkembang menjadi profesional radio mahasiswa perlu menuntaskan sejumlah masalah personal(seperti waktu luang pengelola yang tidak pasti, di luar jam kuliah) dan masalah institusional(seperti visi dan misi yang tidak sinkron dan solid antara pengelola, mahasiswa pendengar, pimpinan kampus; independensi yang lemah berhadapan dengan pimpinan kampus, pengiklan dan UKM tertentu.(halaman 56)
Sejumlah langkah yang perlu ditempuh agar radio mahasiswa dapat bertahan di era kompetisi radio siaran yaitu pertama, merumuskan segmentasi pendengar yang jelas dan terfokus. Strategi ini memiliki banyak manfaat yaitu 1)mengurangi biaya opersional dengan menekan jumlah SDM yang tidak produktif dan program yang tidak tepat. 2)secara psikologis mendekatkan jarak radio-pendengar. 3)target promosi dan pemasaran acara yang lebih terukur. Kedua, sindikasi/networking dengan berbagai jaringan penyedia program informasi dan musik yang tidak berorientasi laba.(halaman 76-77)
Ciri radio yang dikelola mahasiswa:
1)idealisme tercermin dalam setiap program acara siaran wujudnya adalah siaran jurnalisme. 2)sifat radio yang independen dan nonprofit.
3)target siaran ditujukan untuk mahasiswa. (halaman 78-79)
Radio–mahasiswa sebagai radio komunitas
Radio komunitas lahir dari gagasan Paulo Freire tentang pendidikan kaum tertindas melalui medi yang murah dan populer. Radio komunitas mencoba melayani kebutuhan informasi dan perjuangan masyarakat kelas pinggiran, baik ekonomi, budaya, politik dengan cara menajdi mediator komunikasi kegiatan komunitas.(halaman 87)
Secara teoritis komunitas terbentuk oleh dua hal yaitu,1)kesamaan lokasi atau status sosial individu. 2)kesadaran kolektif untuk mencapai tujuan tertentu.(halaman 90)
Istilah radio komunitas/community radio merujuk pada kepemilikan dan wilayah orientasi yang bersifat lokal, antitesis radio swasta yang luas dan jaringan. (halaman 91 pada tabel 2.5).
Radio Siaran dan Perspektif Gender
Akar masalah bias gender di radio :
1) Lingkungan sosial-budaya yang patriarkal; sadar atau tidak broadcaster sering mengartikulasikan kondisi sosial-budaya itu.
2) Faktor internal radio yang secara kultural, teknologis dan histories diciptakan dalam iklim patriarkal.
Solusi mengatasi bias gender di radio:
3) Affirmative action, kebijakan non-diskriminatif dan memprioritaskan perempuan dalam pengisian posisi stragtegis di radio.
4) Mendorong pluralitas pemilikan dan orientasi pengelolaan institusi dan program siaran.
5) Menghilangkan pola pikir yang bias gender, misal melalui pelatihan.
6) Memperkuat akses kontrol public publik melalui radio wacth